BUNYI DALAM SAJAK
1. Irama
Masalah irama pada hakikatnya membicarakan
musik, masalahnya irama erat hubungannya dengan bunyi, dan irama tidak identik
denga bunyi itu sendiri. Irama bukan sekedar bunyi belaka, tetapi lebih dari
itu. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi,
sehingga dapat menghasilkan suasana.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa irama terbagi
atas dua bagian, ritme dan metrum. metrum adalah irama yang tetap, terpola
menurut pola tertentu, sedangkan ritme adalah irama yang di sebabkan
pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur
tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang
penyair. (Semi, 1984: 109).
Menurut Teeuw (1983: 23) masalah irama belum ada
yang tahan uji di dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa
Indonesia tidak mempunyai aturan dalam persoalan tekanan kata. Dengan demikian
metrum hampir di katakan tidak ada di dalam sajak-sajak Indonesia. Kalaupun ada
metrum itu bersifat individual yang digunakan tanpa patokan atau aturan
tertentu karena metrum disandarkan pada suku kata. Hal itu dapat dipahami
karena bahasa Indonesia di dalam sajak-sajak lebih bersandar pada kata. Mungkin
yang terasa mempunyai metrum adalah pantun dan syair.
Di dalam sajak-sajak Indonesia hal yang lebih
menonjol, secara sadar atau tidak adlah ritmenya. Ritme ini dapat timbul dengan
mempertentangkan bunyi, perulangan serta membuat pola tertentu dengan memilih
kata dengan bunyi yang cocok.
Adanya irama didalam sajak selain menyebabkan
sajak terdengar merdu, juga menyebabkan sajak enak untuk dibaca. Dengan
mengetahui irama di dalam sajak, penikmat sajak dengan mudah pula menentukan
tekanan dan jeda. Hal ini amat membantu terhadap proses penikmatan dan pemahaman
terhadap sajak yang dihadapi.
2. Kakafoni dan Efoni
Kakafoni
dan efoni ialah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai
di dalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah serta sebaliknya, suatu
kesuraman. Kesan buram timbul karena bunyi yang dirangkai berasal dari konsonan
tak bersuara seperti /k/, /p/, /t/, /s/. Penggunaan bunyi konsonan tersebut
menciptakan persaan jiwa yang tertekan gelisah bahkan yang memuakkan. Karena
menggambarkan perasaan yang demikian, akibatnya yang muncul adalah kesan
suasana buram. Pemanfaatan unsur bunyi yang memunculkan efek semacam ini
disebut dengan istilah kakafoni (ca-caphony).
Kebalikan dari keburaman adalah kesan suasana
cerah adalah kesan yang membangkitkan keceriaan dan rasa riang serta nyaman.
Kesan suasana cerah muncul karena bunyi-bunyi yang dirangkaikan berasal dari
bunyi vokal serta konsonan bersuara. Kesan ini juga dapat dihadirkan dengan
memanfaatkan bunyi sengau yang dirangkai sedemikian rupa. Bunyi sengau tersebut
ditata sehingga menimbulkan kesan merdu dan enak didengar.
Penggunaan unsur bunyi yang dilakuakan dengan
cara demikian, menciptakan bunyi-bunyi yang ringan dan lembut, mesra dan
bahagia. Contohnya pada sajak Episode (Rendra), pembaca digiring serta pada
suasana keriangan sajak. Pemanfaatan unsur bunyi yang sedemikian itu dikenal
dengan istilah efoni (euphony).
3. Onomatope
Salah
satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak adalah onomatope.
Istilah onomatope menurut kamus istilah sastra (Sudjiman, 1984: 54) adalah
penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang,
gerak, atau orang.
Penggunaan tiruan bunyi dimaksudkan untuk
mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas. Misalnya peniruan bunyi itu dapat
dilakukan atau dihasilkan oleh barang, ”gemercik air pencuran”, ”desau angin”,
”derap langkah kuda” adalah onomatope. Penggunaan tiruan bunyi seperti hal-hal
di atas sering ditemukan didalam sajak.
4. Aliterasi
Pemanfaatan dengan cara mengulang pemakaian
bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Pengulangan
bunyi konsonan yang sama disebut aliterasi. Pengulangan bunyi yang dapat
dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan.
Misalnya sajak Sepisupi Sutardji Calzoum Bachri, dapat dipahami bahwa aliterasi
yang digunakan pada sajak tersebut adalah persamaan serta perulangan bunyi /s/
pada awal kata setiap barisnya.
5. Asonansi
Asonansi adalah pemanfaatan unsur bunyi secara
berulang-ulang dalam satu baris sajak. Halnya sama dengan alitelerasi hanya
pengulangan disni merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang di
harapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah
kemerduan bunyi. Sebagaimana aliterasi, asonansi pun tidak semua pengulangan
bunyi vokal dapat disebut asonansi. Pengulangan bunyi yang sama secara dominan
(di dalam sajak) yang dapat di kategorikan sebagai asonansi.
Asonansi ini contohnya terdapat pada sajak
Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau, menggunakan unsur asonansi
untuk menciptakan kemerduan bunyi, misalnya asonansi a dan u pada cintaku jauh
di pulau kemudian juga dimanfaatkan asonansi a pada perahu melancar, bulan
memancar.
Contoh:
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
6. Anafora dan Epifora
Anafora dan epifora cara menggunakan unsur bunyi
yang berulang-ulang dalam bentuk kata atau bentukan linguistik pada awal atau
akhir tiap-tiap larik atau baris sajak. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata
yang sama pada awal larik disebut anafora, sedangkan pengulangan bunyi dalam
bentuk kata yang sama pada akhir larik-larik sajak disebut epifora.
Pengulangan kata yang sama menimbulkan
pengulangan bunyi yang sama beberapa kali, dapat menimbulkan kesan sugestif
pada sebuah sajak. Kesan sugestif ini diharapkan dapat membujuk pembaca untuk
melebur dengan sajak yang sedang dinikmati. Di dalam perkembangan kesusastraan
Indonesia, para penyair lebih cenderung memanfaatkan anafora di banding
epifora.
Untuk memanfaatkan unsur bunyi ini diperlukan
kecermatan serta keahlian penyair, sehingga bunyi yang dihasilkan serta merta
menggoda telinga karena bunyi yang menarik untuk di simak lebih jauh, unsur
bunyi diramu dan ditata oleh penyair di dalam sajak. Kepuitisan diharapkan
dapat menimbulkan keharuan. Karena, keharuan pembacalah yang dapat mengantarkan
pembaca menemukan sebuah dunia, dunia sebuah sajak. Dunia yang dapat memberikan
kepuasan dan kenikmatan batin bagi para penikmat sajak.